Makalah Fiqih. Hadist Sumber Aturan Islam Kedua

Makalah fiqih. Hadist Sumber Hukum Islam Kedua, Bagaimanakah kedudukan hadist sebagai sumber hukum? ,Apakah semua perbuatan yang dilakukan oleh rasul sanggup dijadikan sebagai sumber hukum? , Apa sajakah macam – macam as- sunnah itu ?, Bagaimana kekerabatan al hadits dengan al qur’an? , Apakah ar- ra’yu itu?



KATA PENGANTAR




Bismillahir-Rahmanir-Rahim.




Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan kelak. Dan tak lupa kami bersyukur atas tersusunnya Makalah kami yang berjudul “Hadits Sebagai Sumber Hukum yang ke dua”.




Tujuan kami menyusun makalah ini yaitu tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua, dan untuk memenuhi kiprah fiqih tentang belahan Sumber Hukum Islam.




Akhir kata kami mengharapkan adanya kritik dan saran atas kekurangan kami dalam penyusunan makalah ini, dan semoga makalah ini sanggup bermanfaat dan memiliki kegunaan khususnya bagi Siswa Siswi Madrasah Aliyah Negeri Mojokerto dan juga semua pihak.










Mojokerto , 03 Oktober 2013
















Penulis




















































DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR ....................................................................................




DAFTAR ISI ....................................................................................




Bab I Pendahuluan




1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................




1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................




1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................




1.4 Metode Penulisan ....................................................................................




1.5 Sistematika Penulisan...............................................................................




Bab II Pembahasan




Bab III Penutup




1.6 Kesimpulan ....................................................................................




1.7 Saran ....................................................................................




1.8 Daftar Pustaka ....................................................................................





































BAB I Pendahuluan.




1.1. Latar Belakang Masalah




Sunnah yaitu sumber aturan Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua sehabis Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber aturan Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber aturan Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber aturan Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang niscaya tentang kebenaran Al-Hadits. Namun, kita juga perlu mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum. Untuk lebih jelasnya mengenai kedudukan hadist sebagai sumber aturan akan dijelaskan pada belahan berikutnya.yaitu pada belahan pembahasan.




1.2 Rumusan Masalah




1) Bagaimanakah kedudukan hadist sebagai sumber hukum?




2) Apakah semua perbuatan yang dilakukan oleh rasul sanggup dijadikan sebagai sumber hukum?




3) Apa sajakah macam – macam as- sunnah itu ?




4) Bagaimana kekerabatan al hadits dengan al qur’an?




5) Apakah ar- ra’yu itu?




1.3 Tujuan Penulisan




Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui :




a) Bagaimana Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum.




b) Dasar hadits sebagai salah satu sumber hukum.




c) Untuk mengetahui macam – macam as- sunnah.




1.4 Metode penulisan




Untuk mendapat data dan informasi yang di perlukan, penyusunan makalah ini menggunakan metode – metode sebagai berikut:




ü Mencari materi di internet.




ü Mencari materi di beberapa buku fiqih di perpustakaan .




ü Membuat suatu kesimpulan.




ü Berdiskusi dengan teman.










1.5 Sistematika Penulisan
















i. Bagian Awal.




ii. Halaman Kulit/Sampul.




iii. Halaman Jilid.




iv. Kata Pengantar.




v. Daftar Isi.




vi. Pendahuluan.




vii. Pembahasan.




viii. Penutup.













AS-SUNNAH ATAU HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA




1. Pengertian As-Sunnah atau Hadits




As-sunnah menurut bahasa sanggup diartikan sebagai perjalanan, pekerjaan, jalan yang di tempuh atau cara, kebiasaan yang sering dilakukan, sesuatu yang di lakuakan para sahabat, baik yang menurut al-qur’an maupun tidak, dan sebagai kebalikan dari kata bid’ah. Sedangkan menurut istilah sunnah ialah segala hal yang tiba dari nabi muhammad saw, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penetapan.




Sepakat para ulama’ bahwa as sunnah sanggup berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan aturan berasal dari as sunnah sama dengan kekuatan aturan yang berasal dari Al-Qur’an dan menjadi sumber aturan yang wajib dipatuhi. Karena itu, As-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak atau kurang terang serta penentu dari beberapa aturan yang tidak terdapat aturan yang di dalam Al-Qur’an.




2. Kedudukan as sunnah/hadits sebagai sumber aturan islam yang kedua




a. Sunnah/hadits sebagai sumber aturan




Kaum muslimin sepakat bahwa as-sunnah menjadi dasar aturan yang kedua sehabis Al-Qur’an. Kesimpulan ini diperoleh menurut dalilyang member petunjuk tentang kedudukan dan fungsi as-sunnah, baik yang nash, ijma’, ataupun pertimbangan budi yang sehat.




Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber aturan islam yaitu Al-Qur’an, hadits, Ijma, dan Dalil Aqli.




v Dalil Al-Qur’an




Banyak ayat al-qur’an yang berkenaan dengan masalah ini, salah satunya yaitu:




وما اتكم الرسولفخذ و ه و ما نهكم عنه فا نتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب




الحشر:٧




Artinya : apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr (59) : 7)




ومن يطع الرسول فقد اطاعالله




النساء : ٨٠




Artinya : “ barang siapa yang mentaati Rasul itu sesungguhnya dia telah mentaati Allah”. (Q.S. An-Nisa’:80)




Dari gambaran ayat-ayat mirip ini, maka memperlihatkan betapa urgennya kedudukan penetapan kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dengan demikian sanggup diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul Muhammad dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu komitmen yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.




v Dalil Al-Hadits




Rasul bersabda :




تركت فيكم أمرين لن تضلوا ماتمسكتمبهما كتب الله وسنة نبيه










Artinya : “aku tinggalkan 2 pusakan untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kau berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)










v Kesepakatan ulama’ (Ijma’)




Seluruh umat islam telah sepakat menimbulkan hadits sebagai salah satu dasar aturan Syariat islam yang wajib diikuti dan diamalkan, alasannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Penerimaan mereka terhadap hadist sama mirip penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, alasannya keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber aturan syariat islam. \




Adapun peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan adanya komitmen menggunakan hadits sebagai sumber aturan islampada masa sahabat, antara lain :




a. Pada dikala bubuk bakar ra dibaiat menjadi khalifah, ia dengan tegas berkata “ saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang, bila meninggalkan perintahnya”.




b. Pada dikala Umar bin Khattab ada didepan hajar aswad ia berkata :’saya tahu bahwa engkau yaitu sebuah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu.




c. Sahabat Rasulullah SAW baik pada waktu dia masih hidup maupun sehabis wafat, telah bersepakat wajib mengikuti sunnaah Nabi, tanpa membedakan antara wahyu yang diturunkan dalam Al-Qur’an dengan ketentuan yang berasal dari Rasulullah SAW.




Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan para sahabat yang memperlihatkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang, selalu ditinggalkan oleh mereka.




v Sesuai dengan petunjuk budi atau dalil Aqli




Dalil aqli sebagian besar ayat Al-Qur’an mengandung aturan yang masih global dan memerlukan penjelasan secara rinci. Tanpa penjelasan dan keterangan kewajiban-kewajiban itu serta bagaimana cara melaksanakanya belum sanggup diamalkan. Oleh alasannya itu penjelasan dan keterangan diharapkan dan penjelasan serta keterangan itu yaitu As-sunnah baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan Nabi.




Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang dia hanya sekedar mengatakan apa yang diterima dari Allah. Hasil ijtihad dia ini tetap berlaku hingga ada dalilyang menghapuskannya.




Disamping itu, secara nalar kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang dia sampaikan.




Dengan uraian diatas, sanggup diketahui bahwa Hadits merupakan salah satu sumber aturan dan sumber fatwa islam dan menduduki urutan kedua sehabis Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjaannya, hadits melahirkan aturan dhanny, kecuali hadits yang mutawattir.










ومن يطع الرسول فقد اطاعالله




النساء : ٨٠




Artinya : “barang siapa taat pada rasul , maka sesungguhnya ia telah taat kepada allah.”(Q.S. AN- NISA :80)










Perhatiakan pula firman Allah SWT :




فان تنازعتم في شي ء فرد و ه الى الله والرسول




النساء : ٥٩




Artinya : “kemudian jikalau kau berbeda pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah kepada allah dan rasul-nya.”(Q.S An-NISA:59)




Berdasarkan ayat-ayat diatas , kedudukan as-sunnah menurut imam syafi’i sanggup dilihat dari tiga hal berikut :




a) Menetapkan dan menguatkan aturan yang telah ada dalam al-qur’an.




b) Memperjelas aturan yang ada dalam al-qur’an secara mujmal,membatasi aturan al-qur’an yang bersifat mutlak , dan mengkhususkan aturan yang bersifat umum.




c) Membuat atau menciptakan dan melengkapi aturan yang tidak ada dalam al-qur’an.




Pada dasarnya , sunnah sanggup dibagi kedalam dua macam , yaitu :




a. Sunnah maqbullah atau yang sanggup di terima sebagai sumber aturan islam. Sunnah maqbullah (yang diterima) terbagi dalam tiga macam , yaitu sebagai berikut :




Ø Sunnah mutawatir ialah hadits yang para perawinya tidak terputus , sejak sahabat sebagai peserta dari nabi , tabi’in,tabit tabi’in hingga kepada perawi yang terakhir,yakni penyusun hadits mirip imam bukhari,muslim,dan sebagainya.artinya tidak ada rawi yang tidak bertemu satu sama lainnya,sesuai tingkatan zamannya.




Ø Sunnah ahad ialah hadits yang perawinya tidak mencukupi syarat perawi hadits mutawatir.dengan kata lain,derajat hadits ahad di bawah hadist mutawatir.




Ø sunnah hasan ialah hadits yang memenuhi syarat hadits sahih.tetapi salah seorang rawinya tidak besar lengan berkuasa ingatannya,sehingga ia tidak sanggup mengahafal redaksi hadits sepenuhnya.namun demikian, hadits hasan ini tetap di terima sebagai sumber hukum.




Ø Sunnah mardudah atau yang di tolak/tidak di terima.




b. Sunnah mardudah hanya ada satu,yaitu hadits dho’if. Di sebut hadits dhaif alasannya tidak lengkap syaratnya,sehingga tidak hingga pada derajat hadits sahih atau hasan.




3. Pembagian As-Sunnah atau hadits




a. Sunnah Qauliyah : yaitu perkataan pribadi dari Rasulullah SAW.




Contoh :




Arab buku kecil biru hal 135




Artinya : sesungguhnya setiap pekerjaanitu tergantung pada niatnya. (HR.Bukhari Muslim)




b. Sunnah Fi’liyah : perbuatan Rasulullah yang sanggup disimpulkan sebagai perintah atau larangan melalui tumpuan atau teladan beliau.




Contoh : pelaksanaan ibadah shalat, puasa, atau haji.




c. Sunnah Taqriyah : yaitu pengakuan atau penetapan Rasulullah SAW. Membiarkan atau meemberikan persetujuan terhadap hal-hal yang dilakukan oleh para sahabat, baik perkataan maupun perbuatan.




Contoh : kisah 2 orang sahabat yang dalam keadaan musafir tidak menemukan air sedangkan keduanya bermaksud melaksanakan shalat. Kemudian mereka bertayamum dan melaksanakan shalat.




d. Sunnah Hamimiyah : suatu amalan yang dikehendaki Nabi SAW. Tetapi belum hingga dia kerjakan sudah wafat.




Contoh : puasa tanggal 9 Muharram.




4. Sunnah yang sanggup dijadikan Hujjah




a. Sunnah mutawattir : sunnah yang diriwayatkan oleh sanad yang banyak sehingga tidak sanggup ditentukan lagi siapa saja yang meriwayatkannya.




b. Sunnah masyhur : sunnah yang diriwayatkan dengan paling sedikit 3 sanad.




c. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan oleh 2 atau 1 sanad saja. Tingkatan ahad inilah yang terbanyak.




v HUBUNGAN AL-HADITS DENGAN AL-QUR’AN




Dalam kekerabatan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam kekerabatan dengan Al-Qur’an itu yaitu sebagai berikut :




1. Bayan Tafsir,




Yaitu menunjukan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kau sebagaimana kau melihatku shalat) yaitu merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) yaitu tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).




2. Bayan Taqrir




Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah alasannya melihat bulan dan berbukalah alasannya melihatnya) yaitu memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.




3. Bayan Taudhih




Yaitu menunjukan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, mirip pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, yaitu taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.




4. Bayan An-Nasakh




Kata An-Nasakh dari segi bahasa yaitu al-itbal (membatalkan), Al-ijalah




(menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin




mengartikan bayan an-nasakh ini yaitu dalil syara’ yang sanggup menghapuskan ketentuan yang telah ada, alasannya datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.




Salah satu tumpuan hadits yang biasa diajukan oleh para ulama yaitu hadits;










لا وصية لوارث




Yang artinya; “Tidak ada wasiat bagi andal waris”.




Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:




Artinya:




“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kau kedatangan (tanda-tanda) maut, jikalau ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)[10]




v HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM




Dalam pembicaraan kekerabatan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu problem yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang memperlihatkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber aturan hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), saat hendak menetapkan hukum.




Kalau persoalannya hanya terbatas mirip apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.




Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) yaitu harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:




“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, semoga kau menunjukan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)




Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan




“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)




Sebenarnya kedua pendapat itu tidak memiliki perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya yaitu sama. Yang diperdebatkan keduanya yaitu soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya alasannya menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal gotong royong membahas.




Seperti dalam soal haramnya kawin alasannya sesusuan, menurut pihak pertama yaitu alasannya ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu yaitu sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)




Dalam kasus-kasus problem lain gotong royong masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh alasannya itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.




v NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST




Pada dasarnya seorang Nabi punya kiprah sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menimbulkan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.




Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi fatwa yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi jikalau kita sudah hingga detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini sanggup kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:




1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya




Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:




1) Berpuasa Wishal




Puasa wishal yaitu puasa yang tidak berbuka dikala Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus hingga esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.




2) Boleh beristri lebih dari empat wanita




Contoh lainnya yaitu masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.




v Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya




Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.




3) Shalat Dhuha’




Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.




4) Qiyamullail




Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.




5) Bersiwak




Selain itu juga ada kewajiban bagi dia untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.




6) Bermusyawarah




Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya




7) Menyembelih kurban (udhhiyah)




Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.




v Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya




1) Menerima harta zakat




Semiskin apapun seorang Nabi, namun dia diharamkan mendapat harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga dia (ahlul bait).




2) Makan kuliner yang berbau




Segala jenis kuliner yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, mirip bawang dan sejenisnya. Hal itu alasannya menimbulkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.










Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan kuliner sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.




3) Haram menikahi wanita ahlulkitab




Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi majemuk nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin sanggup terjadi.




Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita andal kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.




Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber aturan dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga dia mendapat gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu sanggup dijadikan sebagai suatu tumpuan yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil tumpuan atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.




Semua tumpuan di atas merupakan hasil istimbath aturan para ulama dengan cara mengusut semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.




SUMBER PELENGKAP




Pada garis besarnya, Al-Qur’an dibedakan atas ayat Muhkamat dan ayat-ayat mustasyabihat. Ayat muhkammat yaitu ayat yang sudah terang dan terang maksudnya dan aturan yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Sedangkan Ayat Mustasyabihat yaitu ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut, walaupun dalam bunyinya sudah terang memiliki arti, mirip ayat-ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari.




Demikian juga dalam Al-Qur’an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoti’ dan dzonni dan dalil-dalil yang dzonni ini dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk menggunakan budi untuk memecahkannya dan yang tidak kalah penting munculnya insiden gres yang sebelumnya belum pernah terjadi dan status aturan mirip : bayi tabung, cangkok mata, donor darah dll,…




1. Latar belakang adanya Ra’yu




Pada waktu Nabi Muhammad saw mengatur jalannya pemerintahan selalu berpedoman kepada keahlian seseorang untuk mengatasi masalah” yang timbul.




Pilihan nabi jatuh kepada sahabat Mu’adz untuk diangkat menjadi gubernur di yaman. Saat itu, sahabat Mu’adz memperlihatkan konsep pemikiran dalam penyelesaian masalah-masalah social keagamaan yang memerlukan aturan akan dipecahkan melalui urutan sumbernya, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah, kemudian ijtihad/berfikir dengan sangat hati-hati. Kaprikornus ijtihad merupakan berfikir dengan hati-hati (Ra’yu).




Norma dan aturan aturan mirip diatas terus dipertahankan mulai pada masa nabi, masa khalifaur rasyidin hingga pada masa sekarang.




Dan ternyata apabila dihubungkan dengan isi kandungan Al-Qur’an, akan tampaklah bahwa Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber aturan itu yang terdiri dari 6236 ayat, hanya beberapa ayat saja yang mengatur masalah kemasyarakatan. Menurut penelitian Abdul wahab Khalaf, yat-ayat ahkamitu berjumlah:5




70 ayat mengenai keperdataan




70 ayat yang mengenai hidup kekeluargaan




30 ayat mengenai pidana




13 ayat mengenai aturan kegiatan




10 ayat mengenai aturan perundang-undangan dan ketatanegaraan




25 ayat mengenai internasional dan aturan perang




10 ayat mengenai aturan kemasyarakatan dan aturan benda




140 ayat mengenai ibadah :shalat, puasa, haji dll,..




Maka Ra’yu dalam pengertian sahabat tidak terbatas pada qiyas saja mirip yang dipahamkan sebelumnya. Ra’yu pada masa ini melengkapi qiyas, istihsan, barah asliyah, saddudzari’ah maslahah mursalah. Ra’yu yang dikehendaki sahabat adalah:




Ø Mengambil aturan dari dhahir nash, jikalau yang diberikan aturan itu dicakup oleh nash.




Ø Mengambil aturan dari Ma’kul/inti nash alasannya di nashkan ‘illat aturan yang didukung oleh nash, atau nash itu sanggup dipertimbangkan dengan jalan ijtihad, sedang illat didapati pula masalah yang hendakdiberi hukum. Sementara itu para sahabat tidak bermudah-mudahan dalam soal ijtihad. Mereka berijtihad dikala diperlukan.




2. Lahirnya dua pedoman aturan islam, Ahlul-hadits dan Ahlul Ar-Ra’yu




Perkembangan fiqih periode sahabat kecil dan tabiin bermula pada tahun 40 H-10 H. pada tahun ini kendali ke khalifaan berpindah dari khulafaur rasyidin yang ke 4 yakni Ali bin Abi Thalib ke tangan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada periode ini, para pemuka agama islam dalam menetapkan aturan berpegang teguh kepada : Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’ dan Ar-Ra’yu atau qiyas. Akan tetapi prinsip musyawarah dalam menetapkan aturan ini sudah goyah, hasilnya umat islampada periode III pecah menjadi 3 kelompok, yaitu : Khawarij, Syi’ah dan Jumhur.




Ketiga kelompok tersebut berpegang teguh kepada pendiriannya masing-masing.




Maka lahirlah yang dinamakan Ahlul Hadis yang di sponsori oleh kelompok Jumhur, dan Ahlul-Ar-Ra’yu yang disponsori oleh kelompok Khawarij dan Syi’ah.




v Golongan Ahlul-Hadits menfatwakan suatu aturan menurut nash dan hadits yang mereka peroleh saja, tidak mau menfatwakan suatu aturan menurut suatu Qiyash. Golongan ini apabila tidak memperoleh aturan dari Al-Qur’an dan hadits dan memperhatikan pendapat sahabat dan jikalau mereka tidak mendapat hukumdi dalamnya, barulah mereka mau berijtihad.




Contoh : Said ibn Musayab, Abu Al-Kufi, Asy Sya’by, dll,…




v Golongan Ar-Ra’yu




Mahdzab ini berpendapat bahwa hukum-hukum islam sanggup diselidiki maknanya dan memiliki beberapa dasar yang harus dipegang. Mereka menetapkan aturan menurut Al-Qur’an, Al-Hadits, An-Nash, Ijtihad dalam masalah-masalah yang belum didapati Nash hukumnyasecara tegas.




Mereka mengusut illat-illat hukum, makosidusyari’at juga tak ketinggalan diselidiki, bahkan berani menolak hadits-hadits yang berlawanan dengan syari’at.




Contoh : Al Qamah ibnu Qais An nakhai Al-kufi, Ibrahim ibnu Yazid An nakhai, Muhammad ibnu sulaiman Al-Asy’ari, Muhammad Abduh, dll,..




3. Ar-Ra’yu sebagai dinamika aturan islam




Islam sebagai suatu agama sudah lengkap dan tuntas serta tepat mengatur segala aspek kehidupan baik lahir maupun batin, individu dan masyarakat, jasmani dan rohani, termasuk ilmu pengetahuan maupun tekhnologi.




Sesuai dengan ayat al-Qur’an :




ال يوم أكملت لكم الاءسلم د ينج




Artinya : Pada hari ini telah saya sempurnakan untukmu agamamu, dan telah saya cukupkan kepadamu nikmat-ku, dan telah akuridhai islam menjadi agamamu. (QS.Al-Maidah : 3)




Namun, islam sebagai tata kehidupan social masyarakat masih memerlukan alat bantu untuk mengatasi masalah-masalah yang kontemporer,




Dalam halini Muhammad sudah memperlihatkan kelonggaran dalam menghadapi masalah keduniawian melalui pemikiran :




Arab Buku kecil biru hal 150




Artinya : apabila saya perintahkan tentang urusan agamamu, maka ikutilah saya dan apabila saya perintahkan tentang urusan duniawimu, kau lebih mengetahui tentang urusan duniawimu.




Penggunaan budi pikiran dalam berbgai masalah di dunia ini masih dilanjutkan dengan penegasan wahyu kemudiannya. Namun ada beberapa ayat yang Allah tidak memperlihatkan kelanjutannya, akan tetapi diserahkan kepada budi budi manusia untuk menilai dan mengambilkeputusan akhir. Misalnya :




Arab Buku kecil biru hal 152




Artinya : “tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama islam, sungguh telah terang jalan yang benar dari pada jalan yang salah”.




Kebijakan–kebijakan pengambilan aturan yang berorientasi budi sehat telah dilakukan oleh para sahabat nabi, dimana kebijakan tersebut tidak tepat dengan bunyi nash atau perbuatan nabi, contohnya :




Ø Pada masa Usman bin Affan




Pada salat jum’at, Usman bin affan menambah satu adzan lagi, yang pada masa nabi Muhammad hanya ada satu adzan.










Ø Pada masa Umar bin Khattab




Umar bin khattab melarang/tidak membolehkan laki-laki muslim menikah dengan andal kitab, meskipun Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5 terang memperlihatkan kelonggaran.




Umar bin khattab juga menerapkan pungutan pajak bumi, yang dulu pada masa nabi, dia tidak pernah mensyari’atkan pungutan pajak bumi tersebut.




Dan masih banyak lagi tumpuan tindakan ataupun kebijakan para ulama’ dan umara’ terdahulu dalam rangka memahami dan mengamalkan islam yang tidak sesuai benar dengan dhahir nash nya. Mereka mengadakan kebijakan itu bukan tanpa alasan sama sekali, tapi dengan mencari asas dan tujuan syariat yang hakiki serta didukung oleh kebutuhan yang perlu penanganan terdesak. Untuk itu, ulama menyusun beberapa ketentuan dan fatwa islam, khususnya di bidang tata amaliyah.




Pertumbuhan ilmu alat ijtihad tidaklah muncul dalam satu kurun waktu, tetapi tumbuh dan berkembang secara evolusi yang telah ditempa dalam banyak sekali pengalaman,pengkajian dan evaluasi. Sejak zaman nabi sudah dikenal dengan yang namanya Qiyas, kemudian dikembangkan pada masa sahabat dan tabi’in yang dikenal sebagai ra’yu. Pengertian ra’yu berkembang dan bervariasi, sejak dari tafsir secara lughawi, ta’wil, qiyas, maslahah dan istihsan.




























Bab III Penutup.













1.6 Kesimpulan




1) Secara bahasa, hadits sanggup berarti baru, akrab dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).




2) Peran dan kedudukan Hadits yaitu sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber aturan sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.




3) Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menunjukan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menunjukan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an.




4) Dalam beberapa kasus, As-Sunnah sanggup saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu masalah yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.




5) Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber aturan yang harus diikuti oleh umatnya, mirip perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.




1.7 Saran




Diharapkan kepada para pembaca semoga secara benar-benar sanggup mengetahui kedudukan hadist sebagai salah satu sumber aturan Islam.




Demikian makalah Fiqih Bab Sumber Hukum Islam “ Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua “ yang telah kami buat.Makalah ini belumlah mencakup semua yang ada pada materi ini,tetapi kami berharap tetap ada manfaatnya.




Akhirnya tegur sapa dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan,karena tidak ada manusia yang sempurna.
















1.8 Daftar Pustaka




1) Al-Qur’an




2) Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka




3) Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang




4) http://www.google.com




5) http://4referensiku.blogspot.com




6) Drs.Mahrus as’ad,M.Ag dan Drs.A.Wahid Sy,M.Ag, 2006, Memahami fiqih untuk Madrasah Aliyah kelas XII,Semester 1 dan 2 kelas 3, Bandung : penerbit Armico Bandung.




7) Team guru bina PAI Madrasah Aliyah, 2013, FIQIH, Sragen : Akik pustaka.






0 Response to "Makalah Fiqih. Hadist Sumber Aturan Islam Kedua"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel