Makalah Fiqih. Ilmu Ushul Fiqih, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf, Saddudzari’Ah, Madzhab Sahabi.
al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, Mashadir Ashliyah, Mashadir Thabi’iyah, Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melaksanakan mekanisme ijtihad dan istinbath aturan dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga biar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak mampu dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, mirip penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian hebat Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh hebat ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
1.2. Rumusan Masalah
Apa pengertian istishab dan istihsan?
Apa dasar kehujjahan istihsan dan istishab?
Apa saja penerapan dari istihsan dan istishab?
1.3. Tujuan
Mengetahui pengertian istishab dan istihsan
Mengetahui dasar kehujjahan dari istihab dan istihsan
Menerapkan istihsan dan istishab dalam kehidupan sehari-hari
1.4. Manfaat
1. Teoritis
Penulis mampu berbagi ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari terutama dalam bidang Fiqih. Dan untuk memenuhi peran Kimia semester gasal tahun pelajaran 2013/2014.
2. Praktis
Dapat memperlihatkan info tentang dasar- dasar fiqih islam yaitu istihsan dan istishab
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISTIHSAN
2.1. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf.
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
Artinya : “Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), lantaran menurut pandangan mujtahid itu ialah dalil (alasan) yang lebih besar lengan berkuasa yang menghendaki perpindahan tersebut.”
Dari pengertian tersebut terperinci bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an menurut istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
Istihsan : haid berbeda dengan junub lantaran haid waktunya lama. Oleh lantaran itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, alasannya ialah bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki mampu beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagai aturan kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) menurut istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah insan berhajat kepada kesepakatan mirip itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan aturan dari seorang mujtahid terhadap suatu dilema yang menyimpang dari ketetapan aturan yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, lantaran ada alasan yang lebih besar lengan berkuasa yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan aturan sebaliknya, lantaran dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian dilema tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, hebat fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan ialah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully .Istihsan merupakan sumber aturan yang banyak dalam terminology dan istinbath aturan oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.
Dari aneka macam definisi diatas, mampu difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu ialah keterkaitan dengan penerapan ketentuan aturan yang sudah terperinci dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan aturan yang sudah terperinci ini tidak mampu diberlakukan dan harus dirubah lantaran berhadapan dengan duduk kasus yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya ialah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih aturan tertentu dan meninggalkan aturan yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan aturan kedua dari aturan yang pertama. Artinya, duduk kasus khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi lantaran tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.2. Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari Al- Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) mirip Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله . واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang memiliki akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: ”Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar : 55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah memperlihatkan bahwa ia ialah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari aturan wajib. Maka ini memperlihatkan bahwa Istihsan ialah hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah ialah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah ialah buruk pula”.
Hadits ini memperlihatkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini memperlihatkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak menciptakan susukan air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan.Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, lantaran mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.Demikian pula halnya dengan waqaf.Yang penting pada waqaf ialah biar barang yang diwaqafkan itu mampu dimanfaatkan.Sebidang sawah hanya mampu dimanfaatkan kalau memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, lantaran pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua insiden ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya ialah qiyas khafi.Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain ialah mengenai sisa minuman burung buas, mirip sisa burung elang burung gagak dan sebagainya ialah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, mirip anjing dan burung-burung buas ialah haram diminum lantaran sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke daerah minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan lisan binatang huas.Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang lisan burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, alasannya ialah diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada ketika jual beli dilakukan.Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut aturan kuIIi. Tetapi syara’ memperlihatkan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari aturan kulli dengan menggunakan aturan juz-i, lantaran keadaan memerlukan dan telah merupakan moral kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan tolong-menolong semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah aturan yang telah ditetapkan pada suatu insiden atau insiden yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus lantaran ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka kalau dibolehkan menetapkan aturan menurut qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melaksanakan istihsan lantaran kedua hal itu pada hakekatnya ialah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i.Istihsan menurut mereka ialah menetapkan aturan syara’ menurut impian hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri aturan syara’ menurut impian hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan aturan syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melaksanakan istihsan ialah mirip orang yang melaksanakan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu ialah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk memilih arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan terperinci bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan lantaran ada suatu kepentingan, bukan menurut hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul lantaran rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu mampu dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan aturan menurut istihsan dihentikan menurut rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah menurut hal-hal yang diketahui bahwa aturan itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
2.3. Pembagian Istihsan dan Contoh Produk Hukumnya
Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi, yaitu:
1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan menurut ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan aturan menurut ketetapan qiyas kepada ketentuan aturan yang berlawanan dengan yang ditetapkan menurut nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam dilema wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, lantaran sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu sehabis ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah ialah dalam dilema orang yang makan dan minum lantaran lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal lantaran telah memasukan sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi aturan ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum lantaran lupa ia tidak batal puasanya, lantaran hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu duduk kasus lantaran ada ijma. Hal ini terjadi lantaran ada fatwa mujtahid atas suatu insiden yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang bahwasanya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. [6] msalnya dalam dilema pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh alasannya ialah itu, para ulama oke menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa memilih jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan menurut qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu dilema dari ketentuan aturan qiyas yang terperinci kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih besar lengan berkuasa dan lebih tepat untuk diamalkan.[7]misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli lantaran pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh alasannya ialah itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam kesepakatan wakaf itu, kecuali kalau dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan kesepakatan sewa menyewa, lantaran maksud dari wakaf itu ialah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam kesepakatan wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan menurut kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dihentikan melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf ( Istihsan menurut moral kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan aturan yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, lantaran adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya mirip menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan menurut dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu dilema lantaran berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam dilema sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, lantaran sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah memberikan bahwa dalam keadaan mirip ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, lantaran keadaan dharurat menghendaki biar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.
2.4. Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi dilema yang diperselisihkan oleh para ulama.Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu kepingan metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapatkan serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan. Berikut ini ialah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
{ Kelompok Yang Menerima Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan mampu digunakan sebagai kepingan dari ijtihad dan hujjah.Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil aturan syara dan merupakan hujjah dalam istinbath aturan adalah:
1. Berdasarkan penelitian terhadap aneka macam dilema dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian dilema tersebut justru mampu menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, lantaran kemaslahatan itu merupakan insiden khusus. Maka, sangat tepat kalau membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu dilema yang seharusnya menurut qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan aturan yang lain biar mampu merealisir maslahat dan menolak mafsadat.
2. Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Diantaranya ialah firman Allah Swt :
يريد بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kau mencukupkan bilangannya dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kau bersyukur.
3. Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut :
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن .رواه احمد ابن حنبل
Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah “.(HR. Ahmad Ibn Hanbal)
Menurut Madzhab Maliki, istihsan ialah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) aturan yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi menurut tujuan (maqosid) syara’. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan aturan tidak akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat dihentikan dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak mampu dilakukan, dan ini berarti menjadikan kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan ialah mengambil maslahah yang merupakan kepingan dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, terperinci bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan ialah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih besar lengan berkuasa dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat efek sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa efek merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan ialah menetapkan aturan atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih besar lengan berkuasa yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini mampu berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah.
{ Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan tidak mampu dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil- dalil berikut :
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum. Firman Allah :
يا يها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم. فان تنزعتم فى شيء فردوه الى الله والرسول .ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر. ذلك خير واحسن تاويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian kalau kau berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), kalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini memperlihatkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam merampungkan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak mampu diterima jika:
1. Seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan aturan dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam dilema yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, lantaran itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melaksanakan Istihsan dengan logikanya sendiri.
2. Istihsan ialah menetapkan aturan berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.
3. Rosulullah SAW ketika menghukumi duduk kasus yang belum ada dalam al Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sobat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka ialah musuh-musuh Sunnah…’ ….”
Selain Imam Syafi’i kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah lantaran mereka tidak mendapatkan qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan lantaran kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil aturan ialah lebih rendah dari qiyas
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti ialah aturan yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau aturan yang di qiyaskan kepada aturan Allah dan aturan Rasul itu. Sedangkan aturan yang ditetapkan menurut apa yang di anggap baik oleh mujtahid ialah aturan buatan insan dan bukan aturan syar’i.
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing.Lalu manakah yang paling besar lengan berkuasa dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada ketika mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan kebijaksanaan dan kebijaksanaan sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam dilema dan adanya sandaran yang besar lengan berkuasa atasIstihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan kalau kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita mampu melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya ialah lantaran kehati-hatian dan kekhawatiran mereka kalau seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri memiliki batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini tolong-menolong hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh kebijaksanaan semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
B. ISTISHAB
2.5. Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al(اِسْتِفْعَالِ) yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan sobat atau sobat dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau akreditasi adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya. Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata shuhbah artinya “menemani atau menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan atau “terus menerusnya bersama”.sebagaimana yang dikatakan oleh para hebat bahasa dengan mengatakan:
كُلُّ شَيْءٍ لَازَمَ شَيْئَا فَقَدْ اِسْتِصْحَبَه
Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”.
Dari pengertian yang lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya aturan yang telah ada dan yang telah ditetapkan lantaran sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan aturan tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap aturan sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang menetapkan adanya penyertaan tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu aturan pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya, maka aturan tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti firman Allah:“Jangan kau terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi kalau dalil tersebut hanya menetapkan adanya aturan saja, pada waktu yang telah lampau, tanpa menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah aturan tersebut dianggap telah berlaku atau tidak?.Sedang menurut istilah ditemukan beberapa redaksi dari para hebat yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:
¯ Imam al- Asnawy:
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
Artinya : “Istishab ialah melanjutkan berlakunya aturan yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan aturan tersebut.”
¯ Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
اِبْقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ فِى اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِر (يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, lantaran tidak ada yang mengubah hukum, atau lantaran sesuatu hal yang belum diyakini.”
Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah: akreditasi adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah ialah menetapkan aturan atas sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang memperlihatkan atas perubahan keadaan tersebut.Atau menetapkan aturan yang telah tetap pada masa yang kemudian dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang memperlihatkan atas perubahannya. Adapun definisi Istishab menurut Al Ghazali ialah berpegang pada dalil kebijaksanaan atau syara`, bukan didasarkan lantaran tidak mengetahui adanya dalil, tetapi sehabis dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah aturan yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada aturan yang telah ada dari suatu insiden atau insiden sampai ada dalil yang mengubah aturan tersebut, atau menyatakan tetapnya aturan pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan aturan itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya aturan yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya aturan suatu insiden yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi,istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari beberapa pengertian di atas, maka mampu ditarik sebuah ikhtisar bahwaistishab adalah:
1. Segala aturan yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya ialah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian tiba was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan aturan semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang tiba belakangan itu, dihentikan mengubah aturan yang semula.
2. Segala aturan yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contohnya ialah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan wanita B, kemudian mereka berpisah dan berada di daerah berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum mampu kawin dengan C lantaran ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan aturan tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
2.6. Macam- Macam Istishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:
1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan aturan sesuatu yang bermanfaat bagi insan ialah boleh, selama belum ada dalil yang memperlihatkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama insan dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang memperlihatkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas aturan dasar ketiadaan menurut argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh kebijaksanaan lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada aturan kebijaksanaan dalam aturan ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar aturan pada segala yang diwajibkan ialah mampu diwajibkan sesuatu, kecuali apabila tiba dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: aturan wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nashyang umum mencakup segala yang mampu dicakup olehnya sehingga tiba suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu aturan yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi kini dalam memilih status aturan pada masa lampau, alasannya ialah istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua menurut ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: dilema adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di daerah ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah aturan demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula denganistishabul madhi bilhali yakni menetapkan aturan yang telah kemudian sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap aturan yang dihasilkan dari ijma’ dalam dilema yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini memperlihatkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang memperlihatkan batalnya penetapan tersebut.
2.7. Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu dilema yang dihadapi.
Pertama, menurut lebih banyak didominasi mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak mampu dijadikan dalil.Karena aturan yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan aturan yang sama pada masa kini dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan aturan yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu aturan tanpa dalil. Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut lebih banyak didominasi ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab mampu dijadikan hujjah untuk menetapkan aturan yang telah ada sebelumnya dan menganggap aturan itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak mampu menetapkan aturan yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti aturan suatu dilema yang sudah ada, memiliki gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa aturan itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada aturan yang sudah ada, lantaran ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan aturan itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada dilema yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi dilema yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya mampu dijadikan hujjah untuk mempertahankan aturan yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan aturan itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.
Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab mampu dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan aturan yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka semestinya aturan yang telah ditetapkan itu berlaku terus, lantaran di duga keras belum ada perubahan.Alasan yang memperlihatkan berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari final zaman ialah mengira keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.
2.8. Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, diantaranya adalah:
الاصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya, pada dasarnya seluruh aturan yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang memperlihatkan aturan itu tidak berlaku lagi. Contohnya: ialah dilema orang yang hilang diatas.
الاصل فى الأشياء الأباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi insan hukumnya ialah boleh dimanfaatkan.Melalui kaidah ini, maka seluruh kesepakatan dianggap sah, selama tidak ada dalil yang memperlihatkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya ialah boleh.
اليقين لايزال بالسك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak mampu dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melaksanakan pengecualian dalam dilema shalat.Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh alasannya ialah itu, apabila seseorang ragu dalam dilema wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.
الأصل فى الذ مة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh alasannya ialah itu, seseorang tergugat dalam dilema apapun tidak mampu dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang besar lengan berkuasa dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Istihsan ialah mengambil dilema yang merupakan kepingan dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al- istidlal al-mursal dari pada qiyas. Dari Ta’rif diatas, terperinci bahwa al- istihsan lebih mementingkan dilema juz’iyyah atau dilema tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al- istihsan ialah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih besar lengan berkuasa dilihat dari tujuan syari’at diturunkan.
Istishhab ialah melanjutkan berlakunya aturan yang telah ada dan yang telah ditetapkan lantaran sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan aturan tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap aturan sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang menetapkan adanya penyertaan tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu aturan pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya, maka aturan tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi.
3.3. Saran
Dasar- dasar fiqih islam terutama istihsan dan istihhab sebaiknya diterapkan dalam kehidupan untuk menetapkan hokum sehabis sumber- sumber hokum yang lain. Dan diperlukan istihsan dan istihhab ini diterapkan dengan sebaik- bainya dalam kehidupan, agarmemperoleh ridho dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Zainudin Djedjen,dkk. 1994. Fiqih Madrasah Aliah kelas 3. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Departemen Agama. 2000. Fiqih Madrasah Aliyah III. Jakarta : Departemen Agama.
Rifai, Moh.1996.FIQIH untuk madrasah aliyah kelas III.CV.WICAKSANA: Semarang
As’ad,Mahrus dkk. 2004.Memahami Fikih.CV.ARMIKO:Bandung
Rakhman, Roli Abdul.2004.FIQIH 3A.PT WAHANA DINAMIKA KARYA: Surabaya
Rasyid Sulaiman.1966.Hukum Fikih Lengkap.CV At-Tahiriyah:Jakarta
Baca Juga :
Kisah Kisah Islam, Shabat, Nabi, Kitab Alhikam dll.
0 Response to "Makalah Fiqih. Ilmu Ushul Fiqih, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf, Saddudzari’Ah, Madzhab Sahabi."
Post a Comment